Muhammad Al Fatih (Mehmed II), hanyalah seorang anak kecil ketika ia diangkat menjadi Sultan. Usianya kala itu masih 12-13 tahun. Ayahnya, Sultan Murad II memutuskan untuk hidup tenang di usianya yang tak lagi belia di barat daya Anatolia, turun dari posisinya sebagai sultan dan mengangkat Mehmed II sebagai pengganti.
Seorang anak kecil menjadi sultan? Apa yang bisa dilakukan? Ketika anak seusianya di jaman sekarang sibuk dengan gadget, Mehmed II telah sibuk memikirkan urusan negara.
Ketika anak seusianya di jaman sekarang sibuk main kucing-kucingan dengan orang tuanya demi bisa bermain dengan teman-temannya. Mehmed II dikelilingi oleh orang-orang dewasa, berpengalaman dan memandangnya remeh.
Para penjilat, kelompok kafir dan kelompok munafik sibuk berebut kekuasaan dan membuat propaganda. Melengserkan sultan kecil yang masih ingusan. Usaha mereka berhasil. Mehmed II kembali ke Amasya sebagai seorang murid yang kembali kepada gurunya, Syeikh Syamsuddin dan Syeikh Al Qurani.
Mehmed II meninggalkan Edirne yang mencatatnya sebagai “sultan gagal”.
Kembali ke Amasya, ia tak ingin gagal sebagai murid. Menebus kegagalannya sebagai Sultan, Mehmed II mempelajari (lagi) ilmu-ilmu agama seperti Al-Qur’an, Hadits, Fiqih, Bahasa, Matematika, Sejarah, Ilmu Peperangan dsb.
Hingga hari itu tiba, hari dimana ayahnya mangkat dan ia harus kembali ke Edirne. Untuk kembali menjadi Sultan, Khalifah bagi ummatnya.
Ia berangkat dari Amasya dengan barisan pasukan yang tak seberapa. Tiba di Edirne, para penjilat, para munafik, para nyinyiers yang telah melengserkannya dahulu menjadi terbelalak, ternganga. Pemuda yang telah mereka lengserkan ketika berusia 13 tahun datang kembali seperti Singa yang telah terjaga dari tidurnya.
Membawa pasukan yang tidak sedikit!! Pasukan yang tak seberapa itu ternyata bertambah di setiap perjalanan yang ia lewati. Konon kelak, pasukan itu adalah bagian kecil dari pasukan andalan yang menaklukkan Konstatinopel.
Pada akhirnya, sejarah mencatat Mehmed II sebagai Sang Penakluk, sebagai pemimpin terbaik yang disebut-sebut dalam bisyarah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam, “Kalian pasti akan membebaskan Konstatinopel, sebaik-baiknya pemimpin, adalah pemimpin pada saat itu. dan sebaik-baiknya pasukan adalah pasukannya.”
Ya, sultan kecil ingusan yang pernah dilengserkan oleh orang-orang di sekitarnya, yang pernah diremehkan dan direndahkan dan suaranya tak dianggap sekalipun pangkatnya Sultan. Di tangannya, pada usia 21 tahun, Konstatinopel ditaklukkan.
Menjadi mayoritas di sebuah negeri, harusnya membuatnya menjadi berjaya dan berdaya. Bersabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam “Hampir tiba masanya kalian diperebutkan seperti sekumpulan pemangsa yang memperebutkan makanannya.” Maka seseorang bertanya: ”Apakah karena sedikitnya jumlah kita?” ”Bahkan kalian banyak, namun kalian seperti buih mengapung. Dan Allah telah mencabut rasa gentar dari dada musuh kalian terhadap kalian. Dan Allah telah menanamkan dalam hati kalian penyakit Al-Wahan.” Seseorang bertanya: ”Ya Rasulullah, apakah Al-Wahan itu?” Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Cinta dunia dan takut akan kematian.” (HR Abu Dawud 3745)
Suatu ketika Muhammad Al Fatih pernah dipukul oleh Syeikh Syamsuddin tanpa alasan. Namun karena rasa hormatnya yang begitu besar pada sang guru, saat itu ia tidak berani untuk bertanya atau protes. Ketika ia telah resmi menjadi sultan, maka diungkapkanlah ‘kegundahan’ itu pada sang guru tentang kedzaliman yang telah ia terima sewaktu ia masih kecil.
Bukannya marah atau berkelit dengan mengatakan bahwa telah lupa pada kejadian yang telah lama berselang, Syeikh Syamsuddin malah tersenyum dan berkata, “Aku sudah lama menunggu datangnya hari ini. Di mana kamu bertanya tentang pukulan itu. Sekarang kamu tahu nak, bahwa pukulan kedzaliman itu membuatmu tak bisa melupakannya begitu saja. Ia terus mengganggumu. Maka ini pelajaran untukmu di hari ketika kamu menjadi pemimpin seperti sekarang. Jangan pernah sekalipun mendzalimi masyarakatmu. Karena mereka tak pernah bisa tidur dan tak pernah lupa pahitnya kedzaliman”
sumber : hidayatullah.com