Oleh: Ridha Aqeela
Hari ini Ayah dan Bunda kembali bertengkar di teras belakang rumah.
“Apa yang kau harapkan dari anak laki-lakimu, Hafsya? Apa kau ingin ia menjadi anak yang tidak berguna di masa depan nanti? Apakah kau akan menyuruhnya membajak sawah sama seperti apa yang Ayahnya lakukan? Atau kau akan menyuruhnya mengepel rumah, mencuci baju, mencuci piring dan melakukan semua pekerajan rumah? Menjadikannya seorang pengangguran?” seru Ayah. Bunda hanya bisa menangis dalam diam, menyeka ujung matanya.
“Lihatlah aku Hafsya! Lihat! Sejak kecil aku tak mendapatkan pendidikan yang layak. Tidak seperti anak kita, ia dapat belajar mengaji dan bermalam di surau, juga bisa merasakan bagaimana rasanya dapat duduk di bangku sekolah. Dia sudah mendapatkan pendidikan yang layak sejauh ini, apakah kau ingin menghentikan langkahnya? Aku tahu keuangan kita selama ini terbatas. Tapi biarkan ia melanjutkan pendidikannya. Kalaupun aku harus membayar biaya sekolah anak kita dengan nyawaku sendiri, aku mau melakukannya. Asalkan anak kita dapat melanjutkan pendidikannya setinggi mungkin. Biarkan Imran ikut Syeikh ke kota, Hafsya. Aku mohon. Biarkan anak kita melihat dunia luar dan memperluas pengetahuannya. Entah mau jadi apa dia di kampung ini. Petani? Penyadap getah? Atau pengangguran?” Bunda menyeka lagi ujung matanya.
Aku hanya bisa duduk memeluk lutut di pojok teras belakang rumah, mendengar seluruh percakapan. Sejak tadi aku sudah berkemas-kemas mempersiapkan pakaian yang akan kubawa keluar kota nanti malam. Tapi Bunda mencegahku, memintaku untuk tetap diam di sini menemaninya. Padahal Syeikh sudah berjanji malam ini akan menjemputku di rumah dan mengantarku belajar ke sebuah ponpes terkenal di kota.
Ayah menggenggam jari Bunda. Kali ini berkata lirih, “Aku juga tidak ingin berpisah dengan anak kita, Hafsya. Tapi kamu seharusnya tahu bahwa ini untuk masa depan Imran. Biarkan dia pergi dengan restumu agar langkah kakinya ringan. Aku tahu kamu cemas apakah Imran akan baik-baik saja di sana atau tidak. Tapi ingatlah, jika Allah memang sayang, maka anakmu akan dilindungi. Sejauh apa pun dia pergi, sejauh apapun dia melangkah Allah akan menjaganya. Biarkan Imran ikut Syeikh, Hafsya. Aku mohon. Setidaknya tanyakan pada Imran, apakah dia memang ingin pergi.”
Bunda tertunduk, air mata mengalir di pipinya. Menoleh padaku. “Apakah kamu ingin pergi, Imran?” Tanya bunda dengan suara tersendat. Aku menatap wajah lelah bunda, lantas mengangguk perlahan. Aku ingin pergi. Aku ingin ikut Syeikh ke kota. Percakapan telah tiba di ujung kesimpulan. Bunda menangis tergugu melihat anggukan kepalaku.
Malamnya, sebelum aku berangkat, Bunda mendekap kepalaku erat-erat. Berbisik lembut, “Bunda akan mengizinkanmu pergi, Imran. Meski itu sama saja merobek separuh hati Bunda. Pergilah anakku, temukan masa depanmu. Sungguh, besok lusa kamu akan kembali. Jika tidak kepangkuan Bunda, kau akan kembali pada hakikat sejati yang ada dalam dirimu.”Aku diam, menunduk mendengar perkataan Bunda.
Malam itu, mobil sewaan Syeikh bersiap meninggalkan halaman rumah. Aku ikut serta di dalamnya. Bunda tidak mengantarku, dia tidak melambaikan tangan untuk terakhir kalinya. Bunda justru sedang tersungkur di sajadah kumalnya, menangis dan mengadukan seluruh resah hatinya.
“Tolong jaga anakku Syeikh.” Kata Ayah sambil memeluk Syeikh sebelum kami berangkat. Syeikh tersenyum, “Tentu saja aku akan menjaga anakmu. Aku akan tetap menjaganya seperti anak sendiri karena ini sudah menjadi tanggung jawabku.” Mendengar perkataan Syeikh, Ayah hanya bisa tersenyum. “Selamat tinggal, Hamid. Assalamu’alaikum.” Kata Syeikh sebelum kami berangkat. “wa’alaikumussalam.” Jawab Ayah.
* * *
Tepat pukul sebelas malam, kami sampai di tujuan. kami sampai di sebuah ponpes yang cukup besar, Ponpes Tunas Cendekia. Walaupun sudah hampir tengah malam, masih banyak santri yang masih berkeliaran di dekat masjid. Dari masjid itu terdengar suara para santri yang mengalunkan ayat suci al-Qur’an dengan suara yang indah.
Di tengah-tengah aku merapikan barang bawaanku tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar asramaku. Lalu masuklah seorang santri yang sepertinya baru sampai, sama sepertiku. “Assalamu’alaikum.” Sapa santri itu.“Wa’laikumussalam.” Jawabku. “Apa kita sekamar?” Tanya santri itu kepadaku. “Sepertinya. Siapa namamu?” Tanyaku “Basyir, nama mu?” “Imran. Masuklah ke dalam Basyir, pasti kamu kelelahan selama perjalanan menuju kesini.” Tawarku. “Terimakasih.” Jawab Basyir lalu masuk ke dalam dan langsung merebahkan dirinya ke kasur tanpa menata barang bawaannya terlebih dahulu. Aku juga langsung ikut merebahkan diri. Karena kelelahannya akhirnya aku tertidur lelap.
* * *
Tak terasa akhir semester pun akan datang dan aku bisa pulang untuk liburan di rumah.
Sayangnya, sehari sebelum pulang ke rumah aku mendapat masalah di sekolah. Saat itu jam pelajaran penjas sedang dimulai, aku dan teman-temanku sedang bermain bola di lapangan. Awalnya kami bermain dengan adil, sampai akhirnya tim lawan sengaja menendang kaki ku dan mendorongku hingga terjatuh. Langsung saja Basyir berlari ke arahku dan membantuku berdiri, “Apaan tuh! baru ditendang sedikit saja sudah jatuh, lemah sekali.” Kata Syarif, yang menendang kakiku tadi “Oh.. jadi dari awal kau sudah sengaja mau nendang kakiku ya?” Tanyaku “Hahh!! Sengaja? Aku gak pernah sengaja tuh mau nendang kaki mu! Kan, emang kamu nya saja yang lemah baru di tendang sedikit aja sudah jatuh.” Ejek Syarif. Basyir yang dari tadi hanya menonton sudah tidak tahan dengan Syarif dan langsung memukulnya. Awalnya aku ingin menghentikan gerakan tangan Basyir, tapi sayangnya sudah terlambat. Syarif yang kaget menerima pukulan dari Basyir langsung membalasnya dan aku juga kena pukulannya. Dan terjadilah perkelahian yang tidak diinginkan.
Di ruang kepala sekolah… “Ini semua gara-gara kamu! Jadinya kita semua di panggil.” Kata Basyir kepada Syarif, “Gara-gara aku? Yang benar saja kamu sendiri yang memulai memukulku duluan!” Jawab Syarif membela diri. “Sudah kalian semua cukup! Jangan ada yang berbicara lagi!” Kata Syeikh tegas “Kalian telah membuat keributan di sekolah! Dan aku akan menghukum kalian semua” Kata Syeikh. “Mereka duluan yang memulainya Syeikh.” Kata Syarif “Kau duluan yang memulainya! Kau duluan yang sengaja menendang kaki ku!” Kataku juga, tidak mau disalahkan. “Sudah cukup! Aku sudah memanggil orangtua kalian kesini, sebentar lagi mereka akan datang kesini.”
Tak lama kemudian Ayah dan Bunda datang. “Bagaimana bisa kau dipanggil oleh Syeikh? Sebenarnya apa yang kau lakukan sampai Syeikh memanggilmu ke ruang kepala sekolah? Apa kamu berkelahi dengan santri lainnya?” Tanya Bunda kecewa. Aku hanya diam menunduk tak berani menatap Bunda.
Gagal sudah rencanaku liburan akhir semester ini. Bukan karena orangtuaku tak mengizinkanku pulang, hanya saja aku tak berani pulang karena aku takut membuat Bunda tambah kecewa jika melihatku. Padahal Bunda sudah berharap banyak padaku. Tapi yang bisa kuberikan hanyalah kekecewaan yang begitu mendalam.
* * *
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, sudah tiga tahun aku belajar di sekolah ini dan meninggalkan kampung halamanku.
Keesokkan harinya, saat hari kelulusanku dan perpisahan angkatanku tiba. Ternyata ada pengumuman beasiswa untuk beberapa santri terpintar di sekolah, “Semoga saja aku termasuk salah satu dari santri tersebut.” kataku dalam hati. Jantungku berdebar tak karuan berharap aku salah satu santri yang menerima beasiswa itu. “Acara selanjutnya, penerimaan beasiswa untuk beberapa santri akan diumumkan!” Kata pembawa acara itu semangat “Saya akan menyebutkan beberapa santri yang akan menerima beasiswa ini, pertama, Ahmad Mustafa, kedua Imran Maulana Rahmat, ketiga Syarif Hidayatulah, keempat Anas Abdillah, dan yang terakhir Basyir Ramadhan. Tepuk tangan untuk santri kita yang menerima beasiswa ini. Dan yang tadi namanya disebut, harap naik ke panggung” Kata pembawa acara itu. Tak kusangka ternyata namaku termasuk dalam salah satu daftar santri penerima beasiswa itu. Senang sekali rasanya aku terpilih dalam penerimaan beasiswa itu, ku harap saat pulang nanti Bunda dan Ayah akan senang melihat prestasiku.
Malamnya, di ruang makan asrama semua santri berkumpul untuk merayakan kelulusan mereka. Aku sangat senang tak menyangka akan mendapatkan beasiswa ini. Tak sabar rasanya ingin pulang bertemu dengan orangtuaku dan berkumpul kembali setelah lama tak bertemu. Tapi ternyata, beberapa jam kemudian datanglah kabar yang menghapus semuanya. Kebahagiaan sepanjang hari itu bagai pasir yang disiram air, hilang tak berbekas.
Adalah Syeikh sendiri yang datang ke kamarku, membawa kabar itu. Syeikh menyerahkan sepucuk surat, aku menerimanya dengan mata memicing. Ini apa? Surat itu ditulis oleh Ayahku di atas kertas kusam. Surat ini terlihat jelas basah oleh air mata yang telah mengering. Aku membacanya dengan suara tercekat. Ini kabar duka cita.
“Anakku Imran,
Pagi ini, Bundamu telah tiada. Bundamu telah pergi selama-lamanya. Dia wafat dengan tenang sambil menyebut namamu lirih serta mendekap pigura fotomu. Bundamu sudah sakit-sakitan sejak sebulan lalu. Mantri yang Ayah panggil tak kuasa lagi menolongnya.
Siang ini juga, Bundamu telah dikebumikan di dekat sawah kita. Seluruh penduduk kampung datang, pemakamannya ramai. Banyak yang mendoakan Bundamu. Maafkan Ayah jika tidak pernah memberitahumu perkara Bundamu sakit keras, Imran. Tapi itu pesan Bundamu, agar kau tidak memikirkan banyak hal di kota sana. Bundamu cemas jika kabar sakitnya mengganggu.
Semoga kamu senantiasa sukses di sana, Nak. Kamu tahu, Imran, tiada pernah alpa walau semalam pun, tiada pernah tinggal walau sehari pun, Bundamu mendoakan kamu yang terbaik. Dia selalu merindukanmu walau kamu pernah membuatnya kecewa, selalu menyeut namamu dalam doa semasa hidup. Ingatlah pesan Bundamu, Imran. Rajinlah belajar agar kamu dapat meraih impianmu. Ingatlah hingga kapan pun.
Ayah, Hamid.”
Aku terheyak. Kertas kusam dengan bekas tetes air mata itu terjatuh dari tanganku, melayang hinggap di lantai bersamaan dengan tubuhku yang terduduk di atas ranjang. Bunda telah pergi? Aku tidak percaya. Aku tidak mau menerima kenyataan itu. Surat ini pastilah dusta.
Kamarku hening, hanya menyisakan sesak napasku. Aku meringkuk di pojok kasur. Bunda telah pergi? Wajah bunda yang mengenakan tudung melintas di hadapanku. Wajahnya yang tersenyum menatapku. Wajah Bunda saat mengelap wajahku yang sedang demam, meletakkan kompres di dahiku. Suara Bunda yang fals seperti terngiang di telingaku, berteriak menyuruhku bersiap-siap untuk ke surau. Semua kenangan itu berputar seperti piring hitam, membiarkannya mengenang masa-masa indah itu.
Malam itu juga aku pulang ke kampung diantar langsung oleh Syeikh. Selama perjalanan aku lebih banyak diam. “Imran?” tanya Syeikh memulai percakapan, aku hanya menoleh tanpa berkata apa-apa. “Aku tahu ini sulit bagimu. Tapi, setidaknya janganlah kamu salahkan Ayahmu yang tidak memberitahumu tentang penyakit Ibumu.” Kata Syeikh pelan. “Aku tahu ini bukan salah Ayahku. Hanya saja…” jawabku.
“Cobalah kau lihat ke atas, Imran.” Kata Syeikh sambil menunjuk langit “Kau tahu, Imran, hidup ini sebenarnya perjalanan panjang, yang setiap harinya disaksikan oleh langit.” Aku menoleh kepada Syeikh, tidak mengerti maksud kalimatnya. “Berapa usiamu sekarang?” “13” jawabku pendek. “Itu berarti kau sudah memiliki 6.300 hari yang telah disaksikan oleh langit. Itu bukan jumlah yang sedikit. Di salah satu hari itu, kau dilahirkan. Kau menangis kencang saat menghirup udara pertama kali. Di salah satu hari lainnya, kau belajar tengkurap, belajar merangkak, untuk kemudian berjalan. Di salah satu hari berikutnya kamu memakai seragam, masuk sekolah pertama kali, semua serba pertama kali. Dan kini kau penuh dengan kenangan masa kecil yang indah.”
“Saat Ibumu meninggal, itu adalah hari yang paling indah bagi Ibumu. Memang bukan bagi Ayahmu yang ditinggalkan, apalagi bagi kamu, anak satu-satunya. Tapi bagi Ibumu, itu adalah hari penting, saat dia usai menunaikan tugasnya sebagai istri yang mencintai suaminya dan sebagai Ibu yang membesarkan anaknya. Ibumu memang pernah kecewa padamu, tapi tak pernah lelah setiap malam mendoakanmu, tak pernah kering mulutnya lirih meguntai doa. Dia masih menunaikan kewajibannya sebagai Ibu. Saat hari kematiannya tiba, itu adalah hari paling indah miliknya. Genap pengabdiannya, tunai baktinya. Aku tahu kau terkapar saat membaca surat dari Ayahmu. Itu memang menyedihkan, hari terburuk dari 6.300 hari milikmu, tapi buat apa bersedih? Sepanjang kita mau melihatnya, maka kita selalu bisa menyaksikan hal indah di hari paling buruk sekalipun.” Syeikh benar, tak seharusnya aku bersedih. Tak ada gunanya, itu hanya akan membuat bunda sedih di alam sana. Aku tak boleh sedih, aku akan melewati hari ini, hari terburukku. Aku akan melewati nya apapu yang tejadi.
***
Tak lama kemudian aku sampai dikampung halamanku. Melihat Ayah menyambutku di depan halaman rumah. Menatap kembali sawah milik Ayah, juga rumah yang menyimpan banyak kenangan. Tiga tahun lamanya aku meninggalkan kampung ini.
Aku duduk di sebelah pusara Bunda, tak jauh dari sawah dan rumah. Sambil menatap gundukan tanah yang basah, aku berkata lirih.
“Bunda, Imran kembali hari ini. Tidak ke pangkuanmu, tidak bisa lagi mencium tanganmu. Anakmu kembali ke samping pusaramu, bersimpuh penuh kerinduan.
Bunda, Imran kembali hari ini. Anak laki-lakimu satu-satunya telah kembali. Maafkan aku yang tidak pernah menjengukmu selama ini. Sungguh maafkan
Bunda, Imran kembali hari ini. Terima kasih atas seluruh didikanmu, walau Bunda harus kecewa saat aku membuat masalah disekolah dulu. Terima kasih banyak atas nasihat dan pesanmu.
Bunda, Imran kembali hari ini. Tidak hanya kembali bersimpuh di pusaramu, tapi juga telah kembali kepada hakikat-Nya. Sungguh, sejauh apa pun ku pergi, sejauh apa pun langkah yang ku tempuh, Allah selalu memanggil kami untuk kembali. Anakmu telah kembali. Anakmu telah pulang.”