Ada satu fakta kehidupan yang jarang diperhatikan orang. Bahwa sesungguhnya dimensi kehidupan dunia ini bergantung pada persepsi (nilai). Dan itu artinya dimensi kehidupan masing-masing orang berbeda-beda. Ada seorang penjual kacang rebus merasa sangat beruntung dengan keuntungan 50 ribu rupiah sehari. Sementara uang 50 ribu rupiah tidak ada artinya bagi seorang direktur utama PT. Pertamina. Seorang pemuda meraung-raung kesakitan karena jidatnya terantuk tangga, sementara nun jauh di atas ring di Moskwa seorang petinju dunia tidak merasakan nyeri dengan “jep 50 kg” yang mendarat di pipinya. Seorang sholihah menangis pilu karena malu ketika rambutnya kelihatan saat jilbabnya tersingkap angin. Di saat yang sama gadis lain dengan penuh kebanggaan mengurai rambut dan memamer butut di depan khalayak.
Dalam satu shaf sholat, dua orang berdampingan. Satunya tenggelam dalam nikmat munajat dengan Yang Maha Melihat. Satunya lagi tenggelam dalam hayalan rendah unfaedah. Di suatu malam ada dua orang menangis syahdu. Yang satu meratapi perpisahannya dengan si dia tercinta. Yang satu menangis sesal pernah kenal dengan kekasih bengal. Si dermawan menginfakkan hartanya tanpa banyak pikir. Sementara si kikir terus mikir-mikir.
Demikianlah fakta kehidupan, seolah terlihat sama, namun sungguh berbeda. Seorang penulis menyebutkan, “Dunia hanya ada dalam persepsi.” Ungkapan tersebut boleh jadi benar boleh jadi keliru, yang pasti fenomena itu ada. Seperti satu fenomena kecil yang terjadi pada siswa dan siswi kami di sekolah. Mungkin hal semacam itu terjadi pula di sekolah-sekolah yang lain.
Seorang siswa kami, sebut saja namanya Banu. Kini (2019) ia duduk di kelas VIII. Ia adalah siswa yang tidak disukai oleh hampir semua teman kelasnya, bahkan oleh kakak dan adik kelasnya. Setiap hari Banu lebih banyak diam dan tak punya teman bermain. Sehingga ia lebih sering mendekati ustadz dan ustadzahnya. Ia bersikap seperti seorang anak kecil yang baru selesai diganggu oleh temannya. Banu kerap melapor ini dan itu kepada asatidznya, bahwa ia diganggu atau diolok oleh teman-temannya. Banu hampir tidak pernah ditemukan tersenyum. Setiap keluar main ia akan menuju ke ruang guru atau bahkan ke ruang kepala sekolah–untuk mengiba mencari suaka. Setiap hari ia terlihat murung.
Nampaknya Banu sangat peduli dengan dirinya yang setiap hari dirundung (dibuli). Dia selalu merasa menderita dengan perundungan tersebut. Dia mencitrakan dirinya sebagai seorang korban perundungan yang sangat perlu untuk mendapatkan pertolongan dan empati asaatidznya. Dia sangat tidak suka dengan dirinya yang diperlakukan seperti itu setiap hari. Sehingga semakin lama Banu tidak dapat keluar dari jebakan citra dirinya itu. Dia dan orang lain di sekitarnya mengidentifikasi dirinya sebagai korban perundungan yang memprihatinkan. Kerap ia izin pulang dari sekolah atau kegiatan dengan alasan tidak enak badan. Alangkah berat hari-harinya di sekolah.
Berbeda dengan kakak kelasnya yang secara kasat mata mengalami perlakuan yang sama dari teman-temannya. Sebut saja namanya Dinda. Dinda kini duduk di kelas IX. Berkacamata tebal, pakaiannya berukuran double-XL, karena tubuhnya yang memang gemuk. Sebagaimana Banu, Dinda setiap hari dibuli teman-temannya. Bahkan ada istilah yang beredar di kalangan siswa, “Red Zone.” Red Zone ini disematkan kepada Dinda. Jadi, jika si Dinda akan mendekat ke kerumunan siswa, salah satu atau beberapa orang dari mereka akan berteriak, “Red Zone!”, sontak kerumunan siswa tersebut akan berpencar dan meninggalkan si Red Zone sambil mereka mengejek dengan muka jelek.
Uniknya si Dinda ini, walau bagaimanapun dia dibuli dan diejek teman-temannya, dia selalu cool seolah tidak menyadari apa pun yang terjadi di sekitarnya. Dia akan istiqomah tersenyum dan bersikap baik kepada siapa pun. Dinda seolah tidak mengerti dengan ekspresi teman-teman yang mengejeknya.
Salah satu murid yang paling manut di sekolah adalah Dinda ini. Tanpa diminta, jika dia melihat sampah yang harus dibersihkan, dia akan segera mengambil sapu untuk membersihkannya. Apalagi jika ada seorang ustad yang sedang memegang selang untuk membasahi halaman yang telah mulai mengepulkan debu, panas, siswa yang pertama berlari mengambil alih selang dari tangan sang ustad adalah dia, si Red Zone, Dinda.
Memang si Dinda ini adalah salah satu siswi yang secara akademik tergolong lemah. Dia sulit mengerti hampir setiap mata pelajaran. Dia juga lambat dalam menghafal Al-quran. Boleh jadi inilah salah satu alasan teman-temannya untuk membuli. Namun, satu hal yang paling kental dari sikap si Dinda, dia anak yang selalu tersenyum di setiap kesempatan, periang, dan sangat senang menawarkan bantuannya. Bila ada asatidz yang membawa anaknya ke sekolah, yang paling pertama—dan hanya dia sendiri yang peduli tentang itu—menggendongnya ke kantin adalah Dinda.
Dinda bukan tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya setiap hari. Dinda mengerti bahwa dirinya dibuli, hanya saja dia tidak menilai perundungan itu sebagai suatu yang mengancam dan mengusik ketenangannya. Dia seolah melihat perundungan hanyalah semacam perilaku biasa, sebiasa siswa siswi yang sedang menghafal perkalian dengan suara nyaring di dalam kelas. Sehingga dia tidak menghiraukannya sedikit pun. Yang kesal malah para asatidz yang melihat kejadian itu.
Pernah suatu hari, Dinda ditanya oleh ustadzahnya, “Dinda, apakah kamu tidak mengerti dengan ejekan mereka? Apakah kamu tidak tersinggung?” Dinda menjawab santai, “Dinda mengerti kok ustadzah, biarin aja.” Lalu ia menyeringai tersenyum seperti biasanya. Dengan sikap Dinda yang demikian, sebagian besar siswa tidak tertarik membulinya lagi. Munkin tidak asyik karena No Respond. Dengan demikian, tidak bisa disimpulkan bahwa Dinda adalah korban perundungan. Karena Dinda sendiri tidak mengidentifikasi hal itu terjadi padanya.
Maka, hal tersebut menunjukkan bahwa setiap hal dalam hidup ini bergantung kepada nilai yang dihidupi seseorang. Bahkan untuk mencitrakan diri dan untuk berharap seseorang mau menjadi seperti apa sangat bergantung kepada cara pandang (persangkaannya). Allah sebagaimana persangkaan hambanya.
Sekelumit cerita dua siswa kami di atas merefresentasikan sikap manusia di setiap saat dan di setiap tempat. Hal tersebut menggambarkan perbedaan nilai yang dihidupi oleh masing-masing orang. Kehidupan dunia yang sedemikian rupa ini membutuhkan nilai dan cara pandang yang tepat supaya dapat dijalankan dengan penuh makna dan bahagia. Hari-hari yang berisi hal-hal menyenangkan dan hal-hal yang tidak menyenangkan adalah sebuah keniscayaan. Disebut juga sunnatullah di muka bumi. Jika ada manusia yang menginginkan kehidupan hanya yang indah-indah dan nyaman-nyaman saja, sama artinya dengan menghindari kehidupan itu sendiri.
Maka pantaslah Rasulullah SAW. Mengatakan “’Ajiib…”, –amazing, fantastic, terhadap orang-orang yang beriman yang selalu menggunakain nilai dan sudut pandang yang tepat dalam menjalani dinamika kehidupan. Sebagaimana Rasulullah SAW. pernah bersabda dalam sebuah riwayat bahwa sungguh menakjubkan perkara orang beriman. Jika ia mendapatkan karunia, maka ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ia mendapat musibah, maka ia bersabar dan itu pula baik baginya.
Wallahu a’lamu bishshowaab…!
Praya, 1 Desember 2019
Oleh: Muhammad Zahid
Kepala Sekolah SMPIT Tunas Cendekia Mataram
Dan pengurus JSIT Kota Mataram Bidang Bina Pribadi Islami (BPI)